Selasa, 09 April 2013

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (RAPERDA PA) KOTA PONTIANAK


NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (RAPERDA PA) KOTA PONTIANAK

BAB. I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sering kita saksikan beberapa anak yang kurang beruntung mendapatkan perlakuan kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah lainnya, yang semuanya itu merupakan pelanggaran kemanusiaan dan kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah setempat, yang dalam hal ini adalah pemerintah daerah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA), Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis, dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang diharapkan dapat menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan. Anak perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik, mental, maupun sosial. Karena sifatnya, maka tumbuh kembang anak harus dilakukan dalam lingkungan yang melindungi dari segala bahaya dalam bentuk pengasuhan yang optimal.
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945(amandemen) pada Pasal 28B ayat (2) disebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 1 ayat (2) UU PA menyebutkan bahwa Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dari sisi pemenuhan hak anak, terutama hak-hak dasar seperti  pangan, sandang, pendidikan, dan kesehatan sudah menunjukan kemajuan yang cukup berarti, namun dari sisi perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah lainnya belum dapat dilakukan secara maksimal dan belum menunjukan kemajuan yang berarti dalam kurun waktu 11 tahun sejak UU PA diundangkan.
Dari data dan informasi mengenai berbagai kasus yang terjadi terhadap anak memperlihatkan bahwa kondisi anak rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan,  eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah lainnya. Apabila hal ini berlangsung secara terus menerus dan tidak mendapat perhatian secara serius, maka bukan tidak mungkin generasi penerus ini akan menjadi generasi yang tidak siap dalam memikul tanggungjawab sebagai penerus bangsa. Keluarga bertanggungjawab untuk mengasuh dan melindungi anak. Anak yang mendapatkan pengasuhan dan perlindungan dari keluarganya dengan baik maka anak tersebut tidak terhambat di dalam mencapai hak kelangsungan hidup dan perkembangan. Jika keluarga tidak mampu melaksanakan tanggungjawab mengasuh dan melindungi anak, maka negara wajib membantu keluarga tersebut dalam bentuk program pendidikan atau pengasuhan bagi keluarga: keterampilan menjadi orangtua, keterampilan melindungi anak, kemampuan meningkatkan partisipasi anak dalam keluarga, penyelenggaraan program konseling bagi anak dan keluarga. Dan bilamana  diperlukan, negara dapat memberikan dukungan atau bantuan ekonomi.
Kegagalan keluarga dalam melaksanakan tanggungjawab mengasuh dan melindungi anak disertai dengan kegagalan negara di dalam membantu atau memberdayakan keluarga tersebut dalam mengasuh dan melindungi anak dapat berakibat pada anak beresiko mengalami kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah lainnya.
Dalam era otonomi daerah, melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dan penetapan Peraturan Pemerintah(PP) Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten atau Kota, serta PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Struktur Organisasi Pemerintah Daerah telah memberikan kewenangan kepada daerah untuk melakukan upaya perlindungan anak, untuk itu perlindungan anak adalah urusan wajib yang harus dilakukan pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota.
Melihat pada data dan informasi yang telah diuraikan, maka perlindungan anak yang dilakukan bukan perlindungan anak dalam arti umum, tetapi perlindungan anak yang fokus pada perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi yang harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu.

B. Identifikasi Masalah

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam memberikan perhatian pada persoalan-persoalan anak. Pengakuan tentang pentingnya perlindungan terhadap anak sudah menjadi kesepakatan international melalui penandatanganan Konvensi Hak Anak (KHA). Konstitusi Indonesia secara eksplisit juga memberikan pengakuan terhadap hak anak. Hal ini seperti yang tercantum dalam Pasal 28B ayat (2)  UUD 1945 yang menyatakan ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Langkah maju dalam perlindungan anak dilakukan Indonesia dengan mengesahkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berbagai UU yang relevan sebagai instrumen perundangan nasional yang juga memuat perlindungan anak.
Dari analisis perundang-undangan yang disajikan di atas, terdapat berbagai persoalan terkait dengan pengaturan perundang-undangan khusus anak. Beberapa permasalahan adalah:
1.      Saling tumpang tindih dan tidak sinkron sehingga menyulitkan dalam aplikasinya.
2.      Belum secara detail menguraikan mengenai perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah lainnya.
3.      Sesuai muatannya, UUPA diharapkan mampu mewujudkan komitmen Indonesia untuk melindungi anak. Namun dalam perjalanannya UUPA belum secara jelas menciptakan sistem perlindungan anak yang holistik dan komprehensif termasuk layanannya dari tingkat preventif (pencegahan dini), pengurangan risiko, sampai pada penanganan kasus.
Oleh karena itu, daerah seharusnya memiliki payung hukum berupa Perda yang mampu mengakomodir semua isu terkait perlindungan anak, mampu memberikan layanan secara holistik dan komprehensif, dan secara tegas memberikan mandat kepada lembaga untuk melakukan koordinasi kebijakan dan pengawasan, dan mandat kepada lembaga untuk memberikan layanan. Selain itu, Perda yang akan disusun harus dapat membuka keterlibatan institusi non pemerintah dan masyarakat untuk berperan secara luas.
C. Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademik
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik Raperda PA dirumuskan sebagai berikut :
1.      Meningkatkan upaya perlindungan anak dengan membangun sistem perlindungan anak yang komprehensif. Sistem ini harus mampu mendeteksi dan merespon kerentanan anak dan keluarganya.
2.      Menjamin layanan yang komprehensif meliputi layanan pencegahan dini, pengurangan resiko, dan layanan penanganan kasus anak yang menjadi korban kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah.
Sedangkan kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Raperda PA.

D. Metode Penelitian
Penyusunan naskah akademik ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif yang dilakukan melalui studi literatur dan pustaka terutama menelaah data sekunder. Data sekunder yang digunakan adalah data hasil pemetaan perlindungan anak dengan pendekatan sistem yang merupakan landasan berpijak data bagi naskah akademik ini.

BAB. II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIK

A.    Kajian Teoritis

1.      Negara-negara Anggota PBB termasuk Indonesia  sebagai negara yang telah menandatangani perjanjian-perjanjian dan konvensi-konvensi internasional, bertanggung jawab untuk mematuhi perjanjian, protokol dan konvensi-konvensi  yang telah diratifikasi dalam wilayah nasional mereka. Oleh sebab itu, pemerintah memikul seluruh tanggung jawab untuk mengimplementasikan kewajiban-kewajiban internasional ini, serta mandat kepemimpinan dalam melaksanakan peraturan dan mekanisme yang diperlukan untuk mewujudkan kewajiban tersebut.
2.      Sebagai bentuk nyata dari komitmen Pemerintah Indonesia dalam perlindungan anak, telah disahkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Meskipun kita telah memiliki Undang-Undang tersebut, yang substansinya telah mencantumkan tentang hak-hak anak dan perlindungan anak, kewajiban dan tanggungjawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Untuk memberikan perlindungan pada anak terutama di daerah, masih perlu dijabarkan lagi dalam bentuk peraturan daerah.
3.      Selain itu, Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai MDGs (Tujuan Pembangunan Millennium) dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dan memberikan kontribusi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dunia. MDGs yang terkait dengan perlindungan anak, adalah meliputi:

a.       Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan
Dalam mencapai tujuan ini, kaitannya dengan perlindungan anak adalah dengan memastikan setiap anak, mendapatkan kehidupan yang layak, dan tidak terlantar serta bebas dari kemiskinan dan kelaparan (termasuk di dalamnya setiap anak berhak mendapatkan gizi yang baik, asi eksklusif).
b.      Mencapai Pendidikan Dasar Untuk Semua
Dalam mencapai tujuan ini, kaitannya dengan perlindungan anak adalah dengan memastikan setiap anak dapat menyelesaikan pendidikan sampai jenjang pendidikan minimal SMU.
c.       Menurunkan Angka Kematian Anak
Dalam mencapai tujuan ini, kaitannya dengan perlindungan anak adalah dengan memastikan setiap anak mendapatkan akses akses atas pelayanan kesehatan, terutama di daerah-daerah miskin dan terpencil (termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan imunisasi).
d.      Memerangi HIV/AIDS, Malaria Dan Penyakit Menular Lainnya
Dalam mencapai tujuan ini, kaitannya dengan perlindungan anak adalah dengan memastikan setiap anak mendapatkan pelayanan kesehatan yang maksimal apabila terjangkit HIV/AIDS, Malaria dan penyakit menularnya.
e.       Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup
Dalam mencapai tujuan ini, kaitannya dengan perlindungan anak adalah dengan memastikan setiap anak mendapatkan akses air minum dan sanitasi yang bersih.
Keberhasilan dalam pencapaian MDGs di Indonesia tergantung pada pencapaian tata pemerintahan yang baik di pusat maupun daerah, kemitraan yang produktif pada semua tingkat masyarakat dan penerapan pendekatan yang komprehensif untuk mencapai pertumbuhan yang pro-masyarakat miskin, meningkatkan pelayanan publik, memperbaiki koordinasi antar pemangku kepentingan, meningkatkan alokasi sumber daya, pendekatan desentralisasi untuk mengurangi disparitas, memberdayakan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, serta perlindungan anak. Perlindungan terhadap anak sangat penting dilakukan dalam mendukung pencapaian MDGs, karena kepentingan anak merupakan hal mendasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah.
4.      Kemudian, dalam penerapan perlindungan anak, perlu diperhatikan juga rangkaian tentang pengasuhan anak yang berkelanjutan, yang meliputi:

a.       Tahapan Primer – Layanan universal untuk anak dan keluarga
Pencegahan primer adalah segala upaya yang secara langsung ditujukan kepada masyarakat untuk memperkuat kemampuan masyarakat dalam mengasuh anak dan melindungi anak secara aman, termasuk di dalamnya segala aktivitas yang ditujukan untuk melakukan perubahan sikap dan perilaku sosial masyarakat melalui advokasi, kampanye kesadaran, penguatan keterampilan orang tua, promosi bentuk-bentuk alternatif penegakan disiplin tanpa kekerasan dan kesadaran tentang dampak buruk kekerasan terhadap anak.
b.      Tahapan Sekunder – Menargetkan kelompok spesifik anak dan keluarga yang berisiko
Pelayanan ini masih bersifat preventif tapi fokus pada pemenuhan kebutuhan yang telah diidentifikasi dalam keluarga tertentu atau kelompok yang berisiko. Pencegahan sekunder atau layanan intervensi awal ditujukan kepada anak dan keluarga yang telah teridentifikasi rawan atau mengalami resiko perlakuan salah atau penelantaran. Layanan intervensi awal targetnya adalah keluarga yang telah melakukan perilaku yang mengandung resiko kekerasan, harus di cegah, agar tidak terjadi situasi yang secara nyata dapat menyebabkan dampak buruk terhadap anak.
Sebagai contoh, Pelayanan dukungan keluarga dalam bentuk : mediasi dan nasehat hukum ketika keluarga menghadapi kekerasan  dalam rumah tangga, pertengkaran, perceraian; meningkatkan keterampilan menjadi orangtua dan keterampilan melindungi anak; upaya penyembuhan salah satu anggota keluarga yang menghadapi masalah ketergantungan obat, minuman keras, berjudi, ketidakmampuan mengendalikan amarah; mendapatkan rujukan pada pelayanan lainnya, seperti dukungan ekonomi, tempat tinggal, jaminan sosial; dan Pelayanan dukungan keluarga ketika terjadi reintegrasi sosial setelah anak berkonflik dengan hukum. Untuk menanangani masalah tersebut pemberi layanan menyediakan berbagai macam layanan baik yang di lakukan oleh organisasi pemerintah maupun organisasi masyarakat.
c.       Tahapan Tersier – menargetkan anak-anak dan keluarga secara individu.
Penanganan korban adalah langkah atau tanggapan segera untuk menangani anak yang secara serius telah mengalami kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran seperti psiko-sosial. Hal ini membutuhkan intervensi yang berkelanjutan, termasuk intervensi yang dilakukan oleh Negara ketika anak telah mengalami dan secara serius beresiko atau berdampak buruk terhadap anak. Untuk itu diperlukan pengawasan dan layanan dukungan keluarga seperti program bagi orang tua, konseling bagi individu dan keluarga, program terapi penyembuhan; dan atau penempatan anak baik yang bersifat sementara maupun  permanen dalam pengasuhan alternatif. Langkah-langkah untuk mengambil keputusan harus melalui pengadilan, berdasarkan assessment dan rekomendasi dari instansi sosial.
Intervensi di tingkat tersier adalah penting untuk merespons keadaan di mana seorang anak sangat berisiko atau mendapat perlakuan salah, dieksploitasi, ditelantarkan atau mengalami cedera. Intervensi ini mungkin melibatkan anak demi kepentingan terbaik bagi anak harus dipisahkan dari keluarga. Dalam beberapa situasi, intervensi yang pertama kali harus dilakukan adalah mencegah anak terpisah dari keluarga. Tetapi jika menurut hasil assessment hal itu demi kepentingan terbaik bagi anak maka anak tersebut harus dicarikan pengasuhan alternatif. Assessment dan keputusan penempatan anak dalam pengasuhan alternatif  hanya boleh dilakukan oleh Negara. Intervensi ini dapat mencakup penggunaan pencegahan primer dan pelayanan intervensi sekunder, bersama dukungan dan tindakan pencegahan lainnya. Detail dari rencana dan program untuk anak-anak secara individu perlu ditentukan oleh konteks tertentu dan harus didasarkan pada prinsip kepentingan terbaik seperti yang disebutkan dalam KHA.

B.     Kajian Terhadap Asas atau Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma.
Analisis terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan berbagai aspek bidang kehidupan terkait dengan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibuat, yang berasal dari hasil penelitian.
Elaborasi terkait prinsip-prinsip perlindungan anak yaitu prinsip-prinsip umum KHA yang harus menjiwai atau mainstreaming bagi setiap langkah legislasi atau pembuatan undang-undang dan kebijakan yang dilakukan oleh negara yang terdiri dari: Non Diskriminasi, kepentingan Terbaik bagi anak, Hak hidup, Kelangsungan hidup dan perkembangan, menghargai pandangan anak, yang terdiri dari :
1.      Pasal 2 : Non Diskriminasi
  Negara wajib menghormati dan menjamin hak anak dan dimasukan dalam sistem hukum yang ada tanpa diskriminasi ( ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik orang tua, status ekonomi, kecacatan, dan kelahiran )
  Negara wajib mengambil langkah-langkah yang layak untuk menjamin anak terlindungi dari semua bentuk diskriminasi atau penghukuman berdasarkan latar belakang yang disebabkan oleh pandangan dan keyakinan orang tua anak / wali / keluarga.
  Non diskriminasi juga berkaitan dengan KHA Pasal 3 (2) : Negara wajib menjamin pengasuhan dan perlindungan anak untuk kesejahteraan anak, memperhatikan hak dan tugas orang tua / wali melalui langkah-langkah legislatif dan administratif (KHA Pasal 4). Hal tersebut berkaitan dengan hak keperdataan anak.

2.      Pasal 3; Kepentingan terbaik bagi anak (The Best Interests of The Child) harus menjadi landasan sistem hukum dan Kebijakan Pemerintah; Pasal 3 juga berkaitan dengan Pasal 40 (2) (b) (iii) atau pengadilan meliputi Jaminan Negara atas : Penanganan kasus anak sesegera mungkin tanpa penundaan; Oleh instansi yang berwenang (aparat penegak hukum); Independent; Mendapatkan bantuan yang layak; dan dengan mempertimbangkan umur atau situasi. Disamping itu kepentingan terbaik bagi anak juga berkaitan dengan pasal 37 (c) meliputi Jaminan Negara atas: pencabutan Kebebasan yaitu Anak yang dicabut kebebasannya harus dipisahkan dari tahanan dewasa, kecuali dengan pertimbangan demi kepentingan terbaik bagi anak.
3.      Pasal 6 Hak Hidup; Kelangsungan Hidup; Perkembangan.
Jaminan Negara atas anak yang berkonflik dengan hukum atau berhadapan dengan hukum  dengan memperhatikan hak hidup anak dan mempromosikan kelangsungan hidup serta perkembangan anak secara maksimum.
4.      Pasal 12 Menghargai Pendapat Anak:
Negara menjamin :
a.       bahwa setiap anak yang mampu membentuk pandangan mempunyai hak untuk mengekspresikannya secara bebas pada semua hal yang berpengaruh pada dirinya.
b.      bahwa pandangan anak  dipertimbangan sesuai dengan umur dan kematangan anak.
c.       Secara khusus memberikan hak anak untuk didengar dan pandangannya dipertimbangkan pada setiap proses peradilan dan administrative yang mempengaruhi dirinya.
Hal ini mencakup rentang yang sangat luas dari sidang pengadilan dan termasuk kebijakan atau pembuatan keputusan yang mempengaruhi anak, contohnya, pendidikan, kesehatan, lingkungan, pengasuhan, adopsi.

C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat.
1.      Bagaimana praktik penyelenggaraan pencegahan dan penanganan kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran terhadap anak yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah bersangkutan saat ini.
2.      Bagaimana kondisi kekerasan, ekploitasi, perlakuan salah, dan penelantaran terhadap anak yang terjadi saat ini di daerah yang bersangkutan. (didukung dengan data dan memperhatikan budaya setempat dalam hal ini perlu kajian apakah tindakan terhadap anak berdasar budaya setempat dikatakan sebagai kekerasan terhadap anak berdasar asas universal perlindungan anak).
3.      Bagaimana permasalahan yang terdapat di masyarakat dengan adanya kondisi kekerasan, ekspolitasi, perlakuan salah, dan penelantaran terhadap anak yang terjadi dikaitkan dengan praktek penyelenggaraan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
4.      Bagaimana implikasi penerapan Konvensi Hak Anak bagi perlindungan anak di daerah.
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem (atau pendekatan berbasis sistem) yang akan diatur dalam Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan daerah.
Adapun untuk materi kajiannya adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana dampak dari penerapan peraturan daerah terhadap nilai-nilai budaya setempat dan aspek kehidupan masyarakat ( apakah bertentangan atau tidak, dan jika hal itu terjadi bagaimana solusinya? ).
2.      Apa yang akan dilakukan daerah yang bersangkutan untuk mengatasi persoalan yang timbul akibat penerapan sistem baru.
3.      Bagaimana koordinasi antar SKPD di daerah terkait perlindungan anak atau apakah diperlukan suatu unit atau lembaga khusus di daerah yang diberikan mandat untuk mengatur dan menjalankan pelayanan kesejahteraan anak.

Tidak ada komentar:

Speak Your Mind

Powered By Blogger · Designed By Seo Blogger Templates